Mengapa Hidup Kudus?
Seluruh Perjanjian Baru berbicara menentang upaya
untuk "hidup kudus" dengan kekuatan kita sendiri dan dibenarkan
melalui usaha kita sendiri. Allah tidak lagi berhubungan dengan kita sesuai
dengan tingkat ketaatan kita sendiri, tetapi menurut ketaatan sempurna satu
orang, yaitu Yesus Kristus.
Jadi sama seperti oleh ketidaktaatan satu orang
[Adam pertama] semua (NKJV: banyak) orang telah menjadi orang berdosa, demikian
pula oleh ketaatan satu orang [Kristus] semua (NKJV: banyak) orang menjadi
orang benar. (Rom 5:19 NKJV, penjelasan penerjemahan dan penekanan ditambahkan)
Namun kita melihat banyak ayat dalam Perjanjian
Baru yang masih mendukung gaya hidup suci. Apa yang tujuannya? Mengapa kita
masih perlu untuk mempertahankan suatu gaya hidup bermoral jika kasih atau
persetujuan Allah terhadap kita tidak berfluktuasi berdasarkan seberapa baik
kita bertingkahlaku?
Ayat di atas
berbicara tentang kedudukan
status kita di
hadapan Allah. Di mata
Tuhan, setelah kita menempatkan iman kita dalam Putra-Nya
Yesus Kristus, kita akan selalu dibenarkan dan berdiri sebagai orang benar di
hadapan-Nya karena ketika Bapa melihat kita, Dia melihat Kristus. Kita ada di
dalam Kristus (1 Korintus 1:30) dan tidak ada yang bisa membawa kita keluar
dari Kristus.
Namun, sering kita berupaya dan melepaskan diri
dari Kristus setelah kita melakukan kesalahan. Sering setelah seorang beriman
melanggar ke-moral-an mereka, mereka merasa bahwa tindakan mereka sedang
diteliti oleh Allah di bawah kaca pembesar, tapi ini tidak terjadi. Bapa
melihat ketaatan Yesus yang sempurna atas nama kita! Oleh karena itu ketika
kita tersandung secara moral, kita dapat yakin bahwa kasih dan persetujuan
Allah bagi kita tetap teguh.
Sebaliknya, ketika Alkitab berbicara tentang
berhubungan dengan orang, kita terus-menerus didorong untuk "saling
mengasihi", "menjaga ikatan damai sejahtera", "saling
mengampuni" dll. Orang-orang tidak sama penuh rahmat seperti Tuhan dan
kita perlu mempertahankan "perbuatan baik" jika kita ingin
mempertahankan hubungan kita dengan orang, tapi bukan dengan Tuhan. Perhatikan
bahwa kita tidak mengatakan bahwa orang harus hidup tidak taat kepada Allah.
Bagaimanapun konteks dari kebanyakan ayat Perjanjian baru Baru yang berbicara
tentang hidup kudus dan perbuatan-perbuatan baik berkenaan dengan
mempertahankan hubungan kita dengan yang orang lain. Tanpa mencoba untuk
menspiritualkan, mari kita lihat beberapa contoh dan menafsirkan ayat-ayat ini
untuk arti harafiahnya:
Contoh 1
Karena itu buanglah dusta dan berkatalah benar
seorang kepada yang lain, karena kita adalah sesama anggota. (Ef 4:25).
Jika kita terus berbohong kepada orang-orang kita
akan mendapat masalah cepat atau lambat ketika kebohongan kita mengejar kita.
Contoh 2
Apabila kamu menjadi marah, janganlah kamu berbuat
dosa: janganlah matahari terbenam, sebelum padam amarahmu dan janganlah beri
kesempatan kepada Iblis. (Ef 4:26-27) ≈
"Jadilah marah, dan jangan berbuat dosa". Jangan biarkan
matahari terbenam pada amarahmu, atau memberi tempat kepada setan. (Ef 4:26-27,
terjemahan NKJV).
Ketika kita tetap marah dengan seseorang untuk
jangka waktu yang lama, kita memberikan setan pijakan dalam hubungan kita
dengan orang itu.
Contoh 3
Orang yang mencuri, janganlah ia mencuri lagi,
tetapi baiklah ia bekerja keras dan melakukan pekerjaan yang baik dengan
tangannya sendiri, supaya ia dapat membagikan sesuatu kepada orang yang
berkekurangan. (Ef 4:28).
Ketika kita mencuri dari orang lain, itu pasti akan
memiliki efek yang merugikan hubungan kita dengan mereka ketika mereka
mengetahuinya. Namun, jika kita bekerja dan mendapatkan uang dengan jujur, kita
akan memiliki cukup untuk membantu orang-orang yang mungkin memiliki kebutuhan.
Contoh 4
Janganlah ada perkataan kotor (NKJV: merusak)
keluar dari mulutmu, tetapi pakailah perkataan yang baik untuk membangun, di
mana perlu, supaya mereka yang mendengarnya, beroleh kasih karunia. (Ef 4:29).
Sekali
lagi ini mengacu
kepada orang-orang, karena
dikatakan bahwa kata-kata
kita seharusnya membangun para
pendengar.
Contoh 5
Jangan lagi kamu saling mendustai, karena kamu
telah menanggalkan manusia lama serta kelakuannya, dan telah mengenakan manusia
baru yang terus-menerus diperbaharui untuk memperoleh pengetahuan yang benar
menurut (NKJV: ..diperbaharui dalam pengetahuan menurut) gambar Khaliknya;
dalam hal ini tiada lagi orang Yunani atau orang Yahudi, orang bersunat atau
orang tak bersunat, orang Barbar atau orang Skit, budak atau orang merdeka,
tetapi Kristus adalah semua dan di dalam segala sesuatu. Karena itu, sebagai
orang-orang pilihan Allah yang dikuduskan (NKJV: yang kudus) dan dikasihi-Nya, kenakanlah belas kasihan,
kemurahan, kerendahan hati, kelemahlembutan dan
kesabaran. Sabarlah kamu
seorang terhadap yang lain, dan ampunilah seorang akan yang lain apabila yang
seorang menaruh dendam (NKJV: mempunyai keluhan) terhadap yang lain, sama
seperti Tuhan telah mengampuni kamu, kamu perbuat jugalah demikian. (Kol
3:9-13)
Karena kita telah dibersihkan dari sifat dosa lama
kita, sebenarnya tidak pantas bagi seorang percaya untuk berbohong kepada
saudaranya lagi karena itu akan benar-benar bertentangan dengan karakter Roh
Kudus yang sekarang tinggal dalam orang percaya. Singkatnya, bodoh saja untuk
bertindak dalam suatu cara yang bertentangan dengan identitas baru seseorang.
Buah Roh Kudus akan menyerap dalam kehidupan orang percaya yang didirikan dalam
kasih karunia sedemikian rupa sehingga belas kasihan, kebaikan, pengampunan, kerendahan
hati dan semua ciri ilahi tersebut akan bebas mengalir kepada orang-orang di
sekelilingnya.
Ada banyak contoh lain, tapi saya pikir kita telah
mengerti: Allah tidak berkurang dalam mencintai kita ketika kita membuat
kesalahan, tapi orang akan demikian - kecuali mereka adalah orang Kristen
dewasa yang mengerti kasih karunia dan tahu bahwa tidak ada orang yang
berperilaku sempurna.
Bertindak Menurut Sifat Baru Kita
Jika kita telah mati bagi dosa (karena sifat
berdosa kita telah "dipotong" keluar dari kita melalui sunat Kristus
menurut Kolose 2:11), mengapa kita masih ingin hidup di dalamnya? Mengapa kita
masih ingin menjalankan keinginan daging lama kita seolah-olah kita belum
dibersihkan dari itu?
Jika demikian, apakah yang hendak kita katakan?
Bolehkah kita bertekun dalam dosa, supaya semakin bertambah kasih karunia itu?
Sekali-kali tidak! Bukankah kita telah mati bagi dosa, bagaimanakah kita masih
dapat hidup di dalamnya? Sebab siapa yang telah mati, ia telah bebas dari dosa.
Sebab itu hendaklah dosa jangan berkuasa lagi di dalam tubuhmu yang fana,
supaya kamu jangan lagi menuruti keinginannya. Dan janganlah kamu menyerahkan
anggota-anggota tubuhmu kepada dosa untuk dipakai sebagai senjata kelaliman, tetapi serahkanlah dirimu
kepada Allah sebagai orang-orang,
yang dahulu mati, tetapi yang sekarang hidup. Dan serahkanlah anggota- anggota
tubuhmu kepada Allah untuk menjadi senjata-senjata kebenaran. Sebab kamu tidak
akan
dikuasai lagi oleh dosa, karena kamu tidak berada
di bawah hukum Taurat, tetapi di bawah kasih karunia. (Rom 6:1-2, 7, 12-14)
Dan di sinilah bagaimana kita melakukannya: Semakin
kita mencoba untuk kurang berbuat dosa semakin kita akan gagal, karena kuasa
dosa adalah hukum dan ketidakmampuan kita untuk memenuhi standar- standarnya:
Sengat maut ialah dosa dan kuasa dosa ialah hukum
Taurat. (1 Kor 15:56) ≈ Bisa maut ialah dosa, dan dosa menjalankan peranannya
melalui hukum agama. (1 Kor 15:56 BIS)Dalam upaya kita sendiri mencoba untuk menjadi
kudus, di situlah kejatuhan terbesar kita menunggu. Kemenangan kita atas
keinginan-keinginan daging adalah dengan memiliki pikiran kita diperbaharui,
memiliki pikiran kita berubah untuk membedakan kebenaran Firman
Tuhan dan menghabiskan waktu di hadirat-Nya, membiarkan Dia berkasih-kasihan
dan merayu kita. Ketika kita mulai melihat seberapa dalam kasih-Nya nyata bagi
kita, kita tidak akan mampu menolak untuk mengalirkan buah Roh dalam diri kita,
menunjukkan kasih dan belas kasihan kepada dunia yang butuh melihat Yesus.